Langsung ke konten utama

"Rooftop Confessions: Meredam Keretakan Hati di Balik Ketenangan".

Kay terdiam sejenak, merenung pada keputusasaan yang menyelimutinya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan keretakan hatinya. Kay saat ini sedang berada di rooftop rumahnya, tempat biasa ia menenangkan diri. Karena kesunyian adalah situasi yang paling ia sukai, ia dapat dengan tenang meluapkan rasa sakitnya melalui air mata, tanpa perlu khawatir bahwa orang lain akan ikut merasakan sakitnya. Kebiasaannya menyimpan semua dukanya sendiri membuatnya enggan menunjukkan kerapuhannya pada siapa pun, sehingga orang lain sulit melihat seberapa dalam luka yang dimiliki wanita cantik itu.

"Bolehkah jika aku menampakkan keretakan hati yang menyakitiku saat ini?  Aku telah merasa sehancur ini melihat orang yang kucintai bahagia, tetapi bukan aku sumbernya. Aku ingin merasa tidak tahu diri untuk tetap mengejarnya, meskipun aku sudah tahu bahwa dia telah melarikan diri jauh dan menciptakan jarak di antara kita, tapi tidak masalah. Aku relakan energiku dan langkah terseokku demi meraihnya."

Tanpa disadari oleh Kay, di belakangnya berdiri seorang perempuan. Ia secara tidak sengaja mendengar semua keluhan Kay yang sejak tadi telah diungkapkan. Perempuan itu sangat khawatir, karena Kay adalah perempuan yang sangat jarang untuk menampilkan lukanya kepada orang lain, hingga orang lain tidak mampu melihat separah apa luka milik Kay, ia begitu apik menutupi sayatan luka yang mungkin darahnya sudah tercecer kemana-mana. Kay sudah tidak mampu membersihkan semua ceceran darah itu, ia hanya butuh kapas yang bersedia menutup luka untuk menghentikan deras darahnya tanpa obat sekalipun. Karena ia tahu semua lukanya akan sulit dengan obat, cukuplah dihentikan agar ia tidak semakin tersiksa dengan sakitnya.

“Lo kenapa Kay, Bara lagi? abis jalan lo sama dia? Ngomong apa aja dia sama lo?” tanya Sam sedikit kesal.

“Capek ya Sam, ketika gua harus menutupi semua rasa sakit gua untuk bisa menjadi pendengar yang baik buat Bara dengan dia menceritakan semua kebahagiaannya dengan pacarnya itu”

“Kenapa sih lu harus melakukan hal konyol, kenapa masih bertahan. Mau lo apa si Kay? Lo mau kaya gimana?

“Gua gak tau Sam. Mungkin kalo emang hati gua gak sesanggup itu buat lupain Bara, gua bakal nikmati rasa suka sekaligus sakitnya nanti tanpa perlu memperdulikan waktu sejauh apa gua bertahan dengan perasaan ini."

“Masih perasaan lo sampe saat ini ke Bara? Sadar ga setiap lo abis keluar bareng Bara, lo selalu pulang dengan keadaan nangis.  Kapan sembuhnya kalau lo selalu ketemu dia, masih respons apa pun tentang dia. Lo sama dia sakit terus Kay, gua gak bisa liat lo terus-terusan kaya gini”

"Ga Sam, dari dulu dia gak pernah berbuat hal yang bikin gua sakit. Semua sakit yang gua rasain selama ini itu bersumber dari gua sendiri kok. Sampai kapan pun, apa pun yang dia lakukan selama ini ke gua, itu di luar kendali dan niat dia. Dan gak ada hak gua ataupun lo untuk nyalahin Bara. Dia gak jahat, gua yang lancang. Dia gak nyakitin gua, gua yang buat luka itu sendiri."

Mendengar ucapan Kay, Sam segera memeluknya dengan erat. Sam sepenuhnya menyadari bahwa sebanyak apa pun kata-kata yang diucapkan oleh Sam mungkin tidak akan mengubah apa pun. Karena yang bisa menyadari dan mengubahnya hanyalah diri Kay sendiri.

Ternyata mencintai Bara adalah luka yang sakitnya gak pernah aku kira. Aku terlalu berani menaruh rasa pada orang yang hatinya sudah penuh dengan nama orang lain, berlagak kuat untuk bisa meluluhkan hati laki-laki itu tanpa pedulikan sakit hatiku sendiri seperti apa. Jelas aku tau mencintainya itu sakit, tapi menghilangkan rasa besarku padanya secara paksa itu jauh lebih sakit.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku gamau jadi seperti ibu!"

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nala. “Apa ini, Nala? Kamu merokok? ” suara Ayah menggelegar, penuh amarah yang tak terbendung. Nala terdiam, mencoba menahan perih yang menjalar di pipinya. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Ayah… Ayah kan bisa bertanya dulu tanpa harus menggunakan kekerasan?” Namun, kata-katanya hanya menambah bara di hati Ayah. “Kamu itu, Nala, nggak bisa diberi tahu dengan cara baik-baik! Sekarang jawab Ayah, ini rokok milik siapa?” Nala menatap Ayah dengan mata yang mulai basah, rasa sakit di dadanya jauh lebih besar daripada di wajahnya. Dengan suara bergetar, ia menjawab, “Kalaupun Nala bilang itu milik teman Nala, Ayah pasti tetap tidak akan percaya. Tamparan Ayah tadi sudah cukup menjelaskan segalanya, kan? Jadi, apa lagi yang harus Nala katakan?” Air mata mengalir perlahan di pipi Nala, membawa semua luka yang selama ini ia simpan dalam hati. “Sudah, Yah. Biar Ibu saja yang bicara dengan Nala,” ujar Ibu, mencoba meredakan ketegangan. Ayah mendengu...

Refleksi Dewasa dalam Dunia yang Terlalu Cepat

Haiiii, Orang Dewasa... How's your day?  Bagaimana harimu saat ini? apa sudah merasa senang karena sekarang tidak lagi ada yang mengomel jika kamu nggak tidur siang? atau malah pengen hal itu diulang kembali karena sekarang, di usia yang bukan lagi anak-anak, tidur siang terasa seperti hadiah berharga, bukan? Dulu, sewaktu kamu kecil beranggapan bahwa dunia orang dewasa selalu tampak menyenangkan ya, bebas dari segala larangan. Kamu yang belum tahu banyak, sering berharap bisa cepat tumbuh dewasa, membayangkan kebebasan untuk melakukan apa pun yang kita inginkan. Namun, kini bagaimana? dunia orang dewasa ternyata terlalu menakutkan bagi kamu yang masih sering merasa seperti anak-anak. Tubuh ringkihmu sangat jarang mendapat pelukan bahkan hampir tidak pernah, dan sekarang rasanya sudah tidak bisa lagi mengadu pada mama, karena rumah pun bertumpu pada kamu. Beban dunia orang dewasa terasa semakin berat, seakan semua harapan dan kekuatan keluarga terletak di pundak kamu.  Hai man...