Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nala.
“Apa ini, Nala? Kamu merokok?” suara Ayah menggelegar, penuh amarah yang tak terbendung.
Nala terdiam, mencoba menahan perih yang menjalar di pipinya. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Ayah… Ayah kan bisa bertanya dulu tanpa harus menggunakan kekerasan?”
Namun, kata-katanya hanya menambah bara di hati Ayah. “Kamu itu, Nala, nggak bisa diberi tahu dengan cara baik-baik! Sekarang jawab Ayah, ini rokok milik siapa?”
Nala menatap Ayah dengan mata yang mulai basah, rasa sakit di dadanya jauh lebih besar daripada di wajahnya. Dengan suara bergetar, ia menjawab, “Kalaupun Nala bilang itu milik teman Nala, Ayah pasti tetap tidak akan percaya. Tamparan Ayah tadi sudah cukup menjelaskan segalanya, kan? Jadi, apa lagi yang harus Nala katakan?”
Air mata mengalir perlahan di pipi Nala, membawa semua luka yang selama ini ia simpan dalam hati.
“Sudah, Yah. Biar Ibu saja yang bicara dengan Nala,” ujar Ibu, mencoba meredakan ketegangan.
Ayah mendengus keras, lalu menoleh ke arah Ibu. Suaranya masih tajam saat berkata, “Ajari anakmu itu, Bu. Biar dia bisa seperti kamu. Dari mana dia belajar begini? Kita besarkan dia untuk jadi orang berguna, bukan jadi anak pembangkang seperti ini! Pasti karena teman-temannya yang gak jelas itu”
Tiba-tiba, Nala angkat bicara. Suaranya menggema, penuh keberanian dan rasa sakit yang ia tahan selama ini. “AYAH! Aku belajar dari Ayah. Apa yang aku lakukan sekarang adalah cerminan dari Ayah! Ayah tau? Ayah sedang berhadapan dengan diri Ayah sendiri, versi perempuan! Jadi, berhenti selalu menyalahkan teman-teman Nala!”
Ayah terdiam, terpaku mendengar kemarahan putrinya. Tapi Nala belum selesai. Ia melanjutkan dengan suara yang bergetar namun lantang.
“Lagipula, siapa yang mau jadi seperti Ibu? Nala nggak mau jadi seperti Ibu!”
Air mata mengalir semakin deras, tapi Nala tetap melanjutkan. “Nala nggak mau jadi seperti Ibu, yang menggadaikan mimpi dan cita-cita demi satu laki-laki yang menjanjikan cinta. Percaya bahwa semua akan nyata meskipun jaminannya hanya kata-kata.
Nala nggak mau jadi seperti Ibu, yang menjalani hidup berkawan dengan tangis. Meraung sampai suara habis, merasakan luka yang bertumpuk tanpa akhir. Luka yang sudah berlapis-lapis. Ironis!”
Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri meski hatinya terasa hancur. “Nala nggak mau jadi seperti Ibu, yang bertahan dalam komitmen hanya karena takut anak-anaknya kehilangan Ayah. Rela berdarah-darah, menahan semua rasa sakit dan susah payah, demi menjaga keutuhan keluarga ini. Meskipun akhirnya dunia Ibu sendiri yang hancur dan goyah.”
Mata Nala kini penuh keberanian, menatap tajam ke arah Ayah. “Nala nggak mau jadi seperti Ibu, yang bahkan sampai akhir hidupnya tetap menyalahkan dirinya sendiri. Meski dunia sudah bilang bahwa semua itu bukan salah Ibu, tapi Ibu tetap merasa dirinya yang harus lebih mengerti, harus lebih berkorban.”
Suara Nala semakin lantang, hampir seperti teriakan. “Dan Nala nggak mau punya pasangan seperti itu. Nala nggak mau punya pasangan seperti Ayah!”
Tangis Nala pecah, tubuhnya bergetar oleh emosi yang telah ia pendam terlalu lama. Suasana hening, hanya isak tangis Nala yang terdengar, memenuhi ruangan yang sebelumnya penuh dengan kemarahan.
“NALA! Berhenti! Cukup, Nala! Itu ayah kamu!” bentak Ibu, suaranya meninggi, mencoba menghentikan luapan emosi anaknya.
Namun Nala tidak mundur. Air matanya terus mengalir, tapi tatapannya tajam, penuh keberanian yang lahir dari rasa sakit dan kecewa yang sudah lama ia pendam. “Apa, Bu? Apa Ibu mau menyangkal apa yang Nala bilang? Apa Ibu rela melihat Nala menikah dengan orang yang seperti Ayah?”
Nala terisak sejenak, menarik napas dalam untuk menguatkan dirinya. “Tukang selingkuh! Laki-laki yang cuma bisa menuntut, memaki, dan bahkan hal yang harusnya dia kerjakan aja sekarang Ibu yang kerjakan! Kita kerja buat dia doang, Bu! Tapi nggak pernah ada satu kata pun—satu kata pun, Bu—yang keluar dari mulut Ayah untuk bilang terima kasih, maaf dan tolong.”
Ibu terdiam, tubuhnya gemetar mendengar kenyataan pahit yang tak bisa ia bantah. Ayah yang berdiri di ujung ruangan tampak terkejut, wajahnya memerah, tapi kali ini bukan karena amarah. Kata-kata Nala seperti cermin yang memantulkan semua kekurangannya.
“Nala nggak mau hidup seperti ini, Bu. Nala nggak mau jadi seperti Ibu, yang terus-terusan mengorbankan mimpi, cita-cita, bahkan kebahagiaan, cuma untuk laki-laki yang nggak peduli. Nala nggak mau menjalani hidup yang penuh air mata, penuh luka yang nggak pernah sembuh. Dan yang lebih parah, Nala nggak mau terus menyalahkan diri sendiri karena merasa nggak cukup baik, sama seperti Ibu selama ini.”
“Bahkan, Bu,” suara Nala mulai melembut meski tetap terdengar getir, “jika waktu bisa diulang atau kalau kehidupan selanjutnya memang benar ada, aku cuma mau satu hal, Ibu ketemu pasangan yang baik. Hidup di kehidupan yang lebih layak. Diberi kebahagiaan yang selama ini mungkin Ibu nggak pernah benar-benar rasakan.”
Ia menarik napas dalam, mencoba menahan isak yang hampir pecah. “Nggak apa-apa kalau aku nggak ada di dalamnya, Bu. Yang penting… Ibu bahagia di masa tua Ibu. Itu saja cukup buat aku.”
Mata Nala berkaca-kaca, menatap Ibu yang kini mulai terisak, terpukul oleh ketulusan sekaligus kepedihan yang keluar dari mulut anaknya. Kata-kata itu menggema di ruangan, menguak luka yang selama ini tersimpan rapi di hati mereka.
Ibu memalingkan wajah, tak sanggup menahan tangisnya. “Nala, cukup…” suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Namun Nala belum selesai. Ia berbalik ke arah Ayah, menatapnya dengan mata yang merah karena tangis, tapi penuh keberanian. “Dan Ayah… kalau Ayah merasa apa yang Nala bilang tadi salah, jawab Ayah sekarang! Apa Ayah pernah menganggap kami lebih penting daripada ego Ayah sendiri?”
Ayah terdiam, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Untuk pertama kalinya, ia tampak kehilangan kata-kata. Semua kenyataan itu benar, dan Nala baru saja mengatakannya dengan suara yang begitu lantang, sesuatu yang bahkan Ibu tidak pernah berani lakukan.
Melihat keheningan itu, Nala melanjutkan dengan suara bergetar. “Ayah nggak perlu jawab, karena Nala udah tahu jawabannya. Tapi satu hal yang Nala pengen Ayah tahu… Nala nggak akan pernah mau hidup seperti Ibu. Nggak akan!”
Tangis pecah di ruangan itu. Ibu terisak, tubuhnya lemah bersandar di kursi. Ayah menunduk dalam, tangan mengepal, menahan gejolak rasa bersalah yang menyesakkan dada.
Ayah menarik napas panjang, menundukkan kepala seperti menahan beban yang begitu berat. “Tapi, Nala… Ayah ingin kamu tahu satu hal. Ayah mungkin telah gagal sebagai ayah, gagal sebagai suami, bahkan gagal menjadi manusia yang seharusnya bisa kalian banggakan. Tapi satu hal yang tidak pernah gagal… adalah cinta Ayah untuk kalian.”
Nala menggeleng pelan, air mata masih mengalir deras. “Cinta itu bukan sekadar kata, Yah. Cinta itu adalah perbuatan, dan perbuatan Ayah selama ini bukan cinta, melainkan luka.”
Ayah terdiam, terpukul oleh kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Ibu mencoba bangkit dari duduknya, tubuhnya gemetar. “Nala… Ayah kamu mungkin salah, mungkin banyak sekali kekurangan. Tapi satu hal yang Ibu ingin kamu pahami, setiap manusia membawa dosanya masing-masing, dan tak ada satu pun di antara kita yang sempurna. Jika kamu terus hidup dengan menanggung luka ini, itu akan jadi beban yang kamu bawa selamanya.”
Nala menatap Ibu dengan mata penuh kegetiran. "Ibu… Nala hanya ingin kita berhenti hidup dengan pura-pura bahagia.”
Ibu mengangguk pelan, tangannya terulur menyentuh pipi Nala yang basah. “Kebahagiaan bukan berarti tanpa luka, Nak. Kadang, kebahagiaan adalah saat kita bisa berdiri di atas luka-luka itu dan memilih untuk terus mencintai, meski sulit.”
Ayah menunduk semakin dalam, tangannya mengepal, suara bergetarnya pecah. “Nala… kalau ada yang Ayah bisa ubah, Ayah akan mengubah semuanya. Tapi sekarang, yang bisa Ayah lakukan hanyalah belajar memperbaiki. Kalau kamu memberi Ayah kesempatan.”
Nala terdiam, rasa sakit dan harapan bercampur dalam hatinya. Ia tahu kata-kata tidak cukup untuk menyembuhkan, tapi ia juga tahu bahwa dendam tidak akan membawa apa pun selain kehancuran. Ia menarik napas dalam-dalam, suaranya pelan namun tegas. “Kalau Ayah benar-benar mau berubah, jangan buktikan dengan janji. Buktikan dengan tindakan.”
Ayah mengangguk, matanya penuh air mata yang ia tahan. “Ayah akan coba, Nak. Demi kamu, demi Ibu, demi kita.”
Nala melangkah pergi menuju kamarnya, meninggalkan Ayah dan Ibu dalam keheningan. Sebelum menutup pintu, ia berkata pelan, hampir seperti bisikan, “Cinta itu bukan tentang siapa yang salah atau benar, tapi tentang siapa yang berani bertahan untuk berubah.”
Ruangan itu kembali sunyi. Di balik pintu yang tertutup, Nala menangis sendirian, berharap bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, kata-kata Ayah akan menjadi kenyataan. Di luar, Ayah dan Ibu saling menatap, keduanya tahu bahwa ini bukan akhir dari masalah, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju keluarga yang lebih utuh.
Komentar
Posting Komentar