Langsung ke konten utama

"Melodi Kehidupan: Perjalanan Meredam Isi Kepala yang Riuh"

Hari ini, seperti biasa ibu kota ramai. Tapi riuhnya kalah saing dengan isi kepala.

Belum selesai dengan segelas kopi susu di meja. Sang puan mulai mempertanyakan, ia paham betul bagaimana harus memposisikan diri.

"Sudah berapa kali hari ini kamu mendengarkan lagu itu?"

"Ntahlah. Beberapa hari ini, setiap kali aku terbangun, tidak ada apa-apa dalam kepalaku. Hanya ada Tom DeLonge yang berulang kali menyanyikan lagu Rote of Spring. Tubuhku baik-baik saja. Hati dan pikiranku tidak"

"Kamu ingin tau sesuatu yang tidak kalah penting dengan dialog yang ada di kepalamu itu?"

Sanggupku hanya menggeleng seperti anak kecil yang sedang merajuk.

"Hidup itu bukan trek balapan, kalaupun iya, setiap manusia mempunyai trek yang berbeda. Because we were different. Jangan mau kalah dengan isi kepala yang terus meributkan hal yang sama berulang kali. You've endured the pain, i know it"

Ia selalu mahir sekali meredam apa yang ada di kepala.

"berkeluh kesah lah. Karena di balik keluh, ternyata ada suara dari mimpi, ia berbunyi bak letupan senapan yang bertubi-tubi menghunus setiap ruang hati dan pikiran. Ada pula pekik akan tanggung jawab yang berdengung penuh ambisi, juga air mata yang mengendap dan tak kunjung ke luar."

Tidak terasa ada air yang jatuh membasahi pipi, ia masih melanjutkan kalimat-kalimat yang bisa meredam di kepala

"Desakan kehidupan dari dalam dan luar terus berlarian tak tentu arah, tetapi pasti akan meledak di waktu yang juga tak seharusnya. Aku tau kamu sudah muak menjadi kaki keset dan membungkuk karena memikul asa semesta yang lengkara. Risau, keluh dan kacau turut menimpa setiap pundak yang mencoba berdiri tegak.

Sampai hari ini, maaf karena masih tetap hidup, tapi kita tau bahwa kita sama-sama ingin mati. Kita sama-sama ingin memberikan damai dengan tidak menunjukkan keberadaan, tapi akhirnya hanya bisa bersandar dan tetap bertahan. Maaf karena belum mati sampai hari ini, tapi kita juga tau bahwa kita sama-sama ingin hidup, hanya saja dengan cerita berbeda. Kita sama-sama ingin hidup tanpa celaka.

Bertahan ya!"

Tangannya mengarah ke pipiku yang sejak tadi sudah basah, akibat tenggelam di kalimat yang teduh.

"And once again, i can't be more proud to see you getting better every day"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku gamau jadi seperti ibu!"

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nala. “Apa ini, Nala? Kamu merokok? ” suara Ayah menggelegar, penuh amarah yang tak terbendung. Nala terdiam, mencoba menahan perih yang menjalar di pipinya. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Ayah… Ayah kan bisa bertanya dulu tanpa harus menggunakan kekerasan?” Namun, kata-katanya hanya menambah bara di hati Ayah. “Kamu itu, Nala, nggak bisa diberi tahu dengan cara baik-baik! Sekarang jawab Ayah, ini rokok milik siapa?” Nala menatap Ayah dengan mata yang mulai basah, rasa sakit di dadanya jauh lebih besar daripada di wajahnya. Dengan suara bergetar, ia menjawab, “Kalaupun Nala bilang itu milik teman Nala, Ayah pasti tetap tidak akan percaya. Tamparan Ayah tadi sudah cukup menjelaskan segalanya, kan? Jadi, apa lagi yang harus Nala katakan?” Air mata mengalir perlahan di pipi Nala, membawa semua luka yang selama ini ia simpan dalam hati. “Sudah, Yah. Biar Ibu saja yang bicara dengan Nala,” ujar Ibu, mencoba meredakan ketegangan. Ayah mendengu...

Refleksi Dewasa dalam Dunia yang Terlalu Cepat

Haiiii, Orang Dewasa... How's your day?  Bagaimana harimu saat ini? apa sudah merasa senang karena sekarang tidak lagi ada yang mengomel jika kamu nggak tidur siang? atau malah pengen hal itu diulang kembali karena sekarang, di usia yang bukan lagi anak-anak, tidur siang terasa seperti hadiah berharga, bukan? Dulu, sewaktu kamu kecil beranggapan bahwa dunia orang dewasa selalu tampak menyenangkan ya, bebas dari segala larangan. Kamu yang belum tahu banyak, sering berharap bisa cepat tumbuh dewasa, membayangkan kebebasan untuk melakukan apa pun yang kita inginkan. Namun, kini bagaimana? dunia orang dewasa ternyata terlalu menakutkan bagi kamu yang masih sering merasa seperti anak-anak. Tubuh ringkihmu sangat jarang mendapat pelukan bahkan hampir tidak pernah, dan sekarang rasanya sudah tidak bisa lagi mengadu pada mama, karena rumah pun bertumpu pada kamu. Beban dunia orang dewasa terasa semakin berat, seakan semua harapan dan kekuatan keluarga terletak di pundak kamu.  Hai man...

"Rooftop Confessions: Meredam Keretakan Hati di Balik Ketenangan".

Kay terdiam sejenak, merenung pada keputusasaan yang menyelimutinya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan keretakan hatinya. Kay saat ini sedang berada di rooftop rumahnya, tempat biasa ia menenangkan diri. Karena kesunyian adalah situasi yang paling ia sukai, ia dapat dengan tenang meluapkan rasa sakitnya melalui air mata, tanpa perlu khawatir bahwa orang lain akan ikut merasakan sakitnya. Kebiasaannya menyimpan semua dukanya sendiri membuatnya enggan menunjukkan kerapuhannya pada siapa pun, sehingga orang lain sulit melihat seberapa dalam luka yang dimiliki wanita cantik itu. "Bolehkah jika aku menampakkan keretakan hati yang menyakitiku saat ini?  Aku telah merasa sehancur ini melihat orang yang kucintai bahagia, tetapi bukan aku sumbernya. Aku ingin merasa tidak tahu diri untuk tetap mengejarnya, meskipun aku sudah tahu bahwa dia telah melarikan diri jauh dan menciptakan jarak di antara kita, tapi tidak masalah. Aku relakan energi...